"Abadi" Di Ujung Jari*



*Oleh : Roni Haldi


Setelah scan pinger print usai, sebagai tanda mengawali rutinitas kerja di kantor KUA Susoh, Aceh Barat Daya. Sambil menyerumput segelas Kopi Tengku Blangpidie yang aromanya menaikkan imajinasi di pagi hari membuka hari kerja pertama dalam minggu ini. 


Dalam kontemplasi ringan dihadapan sebuah kitab hadits, penulis berfikir sederhana mengapa karya tulis para ulama terdahulu sangat awet dan terjaga eksistensinya tak pernah bosan di baca dan di kaji, bahkan dari satu kitab itu menghasilkan syarahan kitab karangan berikutnya tak hanya satu atau dua bahkan puluhan dan ratusan kitab setelahnya.


Yang lebih mengherankan, walaupun sekarang adalah era digital semua karya tulis dihasilkan menggunakan teknologi canggih, namun tetap tak mampu menandingi menyaingi tulisan hasil karya para ulama terdahulu yang ditulis manual dengan menggunakan alat sangat sederhana. Tapi hasilnya mendunia melewati batas waktu dan tempat alias terlaris dan best seller sepanjang masa dan lintas generasi.


Dalam bukunya, Qimatu al-Zaman 'Inda al-Ulama, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah mengisahkan, bagaimana sosok imam Ibnu Jarir at- Thabari yang bernama Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kastsir bin Ghalib atau lebih dikenal dengan Abu Ja’far At Thabari. Imam At Thabari yang lahir pada tahun 224 H, dikenal sebagai seorang mufassir sehingga dirinya dijuluki Imam para Mufassir terbukti dari hasil karya monumentalnya Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an atau yang lazim dikenal Tafsir Ath-Thabari. Begitu juga ia ahli dalam bidang sejarah, terbukti dengan karya monumental yaitu Tarikh At Thabari. Beliau mampu menulis 40 halaman dalam sehari. Belum lagi imam Ibnu Jauzi yang menulis sebanyak 500 kitab semasa hidupnya. Sedangkan Imam Adz- Dzahabi dalam Syiayar A’lam An Nubala' menjelaskan bahwa Imam At Thabari selalu istiqamah menulis selama 40 tahun. Setiap hari, ia menulis sekitar 40 halaman.


Lain lagi Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam biografinya menulis sampai 600 karya lebih. Karyanya melintas dari bidang ilmu tafsir, hadis, fikih, tata bahasa Arab, sampai etika dan akhlak - dengan tingkatan seorang pakar. Semisal juga Imam an-Nawawi, dalam usianya yang hanya sampai berkepala empat menyusun sekian ratus karya monumental yang banyak dikaji seperti al-Adzkar, Arbain Nawawiyah, Riyadlus Shalihin, Taqrib an-Nawawi, dan banyak lagi kitab-kitab karyanya. 


"Yang akan abadi itu adalah karya tulis. Tapi harus ditulis dengan hati yang tulus. Ulama yang bukunya kita baca yang masuk ke dalam hati kita karena ditulis dengan hati yang bening, tanpa hasrat apapun, kecuali memberi saja. Memberi itu tidak akan pernah berkurang," Begitulah petuah KH. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Cirebon, Jawa Barat.


Benarlah Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkan. 


Ketulusan hati para ulama terdahulu dalam menuliskan karya-karyanya ternyata telah merawat ingatan umat akan keberadaan dan kedudukan mereka yang mulia. Sebuah kemuliaan yang di dapat dari hasil ketulusan hati yang menggerakkan ujung jari tuk "mengukir keabadaian". Janganlah menulis karena berharap limpahan materi dari manusia di bumi tapi menulislah dengan tulus hati berharap berkah dari pemilik makhluk di langit dan di bumi. Karena keyakinan bahwa pujian penghargaan dan limpahan materi makhluk hanya sebatas berputar di bumi dan lekang habis di makan waktu. Sedangkan ketulusan hati, pasti peroleh keberkahan Allah yang tercurah dari langit dan dari bumi. "Abadi" di hati manusia bersebab berkah dari Tuhannya manusia.

***

Susoh, 07 September 2020


Silahkan ikuti tulisan kami di : t.me/roni_haldi

0 Komentar